KONSEP TEORITIS UVEITIS
1. Definisi
Uveitis adalah inflamasi saluran uvea (Karen Holland,2009, Ensiklopedia Keperawatan, hal: 372)
Uveitis adalah inflamasi kombinasi yang dapat mengenai iris (iritis), korpus siliare (siklitis) atau koroid (koroiditis) (Harrison, 1999, Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam, volume 1, hal: 123)
Uveitis adalah inflamasi salah satu struktur traktus uvea. Karena uvea mengandung banyak pembuluh darah yang member nutrisi mata dan karena membatasi bagian mata yang lain, maka inflamasi lapisan ini dapat mengancam penglihatan. (Brunner Suddarth, 2001 : 2003)
Kesimpulan : uveitis adalah inflamasi saluran uvea yang dapat mengenai iris (iritis), korpus siliare (siklitis) atau koroid (koroiditis)
2. Klasifikasi
Bentuk uveitis paling sering adalah uveitis anterior akut (iritis), umumnya unilateral dan ditandai adanya riwayat sakit, fotofobia, dan penglihatan yang kabur ; mata merah (merah sirkumkorneal) tanpa tahi mata purulent, dan pupil kecil atau irregular.
Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada dewasa muda dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus tidak ditemui penyebabnya. Pada uveitis posterior, retina hampir selalu terinfeksi secara sekunder. Ini dikenal dengan korioretinitis.
a. Uveitis Anterior
1) Uveitis Pada Penyakit Persendian
Umur rata-rata deteksi uveitis adalah 5,5 tahun. Pada kebanyakan kasus onsetnya tidak kentara, penyakit ini baru ditemukan bila anak itu terlihat mempunyai warna yang berbeda pada kedua mata, berbeda ukuran atau bentuk pupil, atau timbulnya strabismus. Tidak ada kolerasi anatara artritis dan uveitis. Uveitis dapat mendahului artritis 3-10 tahun. Lutut adalah sendi yang paling sering terkena. Tanda utama penyakit ini adalah sel-sel dan kilauan merah dalam kamera anterior, KP (…….) putih berukuran kecil sampai sedang dengan atau tanpa bintik-bintik fibrin pada endotel, synechiae posterior, katarak berkomplikasi, aneka bentuk glaucoma sekunder, edema macular, dan keratopati pita berkapur di akhir perjalanan penyakit.
2) Uveitis Heterokrom (Iridosiklitis Heterokrom Fuch)
Secara patologik iris dan corpus ciliare menunjukkan atrofi sedang, depigmentasi berbentuk bercak lapis berpigmen, dan infiltrasi difus limfosit dan sel plasma. Yang terkena khas unilateral, namun dapat bilateral, dan irisnya berlainan warna. Di awal perjalanan penyakit, perbedaan warna tidak tampak jelas dan paling jelas di siang hari. Dengan slit-lamp atau kaca pembesar, tampak deposit putih halus tersebar difus merata pada permukaan posterior kornea. Terlihat kilauan (flare) dan sel-sel dalam kamera anterior dan iris yang sedikit atrofik.
3) Uveitis Terinduksi Lensa
Hingga kini belum ada data yang menyokong bahwa materi lensa itu sendiri yang toksik, sehingga istilah uveitis fakotoksik hendaknya tidak dipakai lagi untuk menunjukkan uveitis terinduksi lensa. Uveitis terinduksi lensa merupakan penyakit autoimun sekunder terhadap antigen lensa. Kasus klasik uveitis terinduksi-lensa terjadi bila lensa mengalami katarak hipermatur. Kapsula lentis bocor dan materi lensa meresap ke kamera posterior dan anterior, menimbulkan reaksi radang yang di tandai pengumpulan sel plasma, fagosit mononuclear, dan sedikit sel polimorfonuklear. Mata memerah, dan sedikit sakit ; pupil kecil ; dan penglihatan sangat menurun(kadang-kadang hanya sampai persepsi cahaya). Uveitis terinduksi lensa dapat pula terjadi setelah katarak traumatic.
b. Uveitis Intermediate (Pars Planitis, Siklitis Menahun)
Merupakan bentuk peradangan yang tidak mengenai uvea anterior atau posterior secara langsung. Sebaliknya, ini mengenai zona intermediate mata. Terutama terjadi pada orang dewasa mda dengan keluhan utama melihat “bintik-bitik mengapung” di dalam lapangan penglihatannya. Pada kebanyakan kasus, kedua mata terkena. Tidak ada distribusi perbedaaan pria maupun wanita. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan, maupun fotofobia. Pasien mungkin tidak menyadari adanya masalah dalam matanya, namun dokter melihat adanya kekeruhan dalam vitreus, yang sering menutupi pars planainferior, dengan oftalmoskop.
Pada kebanyakan pasien, penyakit ini tetap stationer atau berangsur membaik dalam waktu 5 sampai 10 tahun. Pada beberapa pasien timbul edema macular kistoid dan parut macular permanen, selain katarak subkapsular posterior. Pada kasus berat dapat terjadi pelepasan membran-membran siklitik dan retina.
Kortikosteroid adalah satu-satunya pengobatan yang menolong namun hanya dipakai pada kasus yang berat, terutama bila penglihatan menurun sekunder akibat edema macular. Mula-mula dipakai kortikostreoid topical, jika gagal suntikan sub-Tenon atau retro-bulber dengan kortikosteroid mungkin efektif. Pengobatan demikian meningkatkan resiko timbulnya katarak. Untungnya kebanyakan pasien menyembuh setelah operasi katarak.
c. Uveitis Posterior
1) Toksoplasmosis Ocular
Pasien retinokoroiditis toxoplasma menyatakan keluhan melihat benda mengambang, penglihatan kabur, dan fotofobia.
2) Histoplasmosis
Pasien biasanya datang dengan menunjukkan bercak-bercak khas pada perifer fundus. Bercak-bercak ini adalah daerah-daerah kecil, bulat atau lonjong tak teratur, tanpa pigmen, kadang-kadang dengan batas berpigmen halus. Bercak ini lebih kecil dan berpigmen lebih sedikit disbanding lesi korioretinal yang telah sembuh. Biasanya terdapat atrofi peripapiler dan hiperpigmentasi.
3) Toksokariasis Okuler
Toksokariasis adalah infeksi oleh Toxocara cati (parasite usus pada kucing) dan Toxocara canis (parasite usus pada anjing). Larva migran visceral adalah infeksi sistemik disseminate pada anak muda. Larva migran visceral jarang mengenai mata.
Anak-anak terkena penyakit ini karena berhubungan erat dengan binatang peliharaan dank arena memakan makanan yang terkontaminasi kotoran yang berisi ovum Toxocara. Telur yang termakan membentuk larva yang menembus mukosa usus dan masuk ke dalam siskulasi sitemik, dan akhirnya sampai di mata. Parasite ini tidak menginfeksi saluran cerna manusia.
4) Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
Uveitis posterior ditemukan pada pasien dengan AIDS. Manifestasi okuler adalah bintik “cotton-wool”, perdarahan retina, sarcoma Kaposi, pada permukaan mata dan adneksa, dan kelainan neuro-oftalmologik pada penyakit intracranial.
d. Uveitis Difus
Merupakan kondisi terdapat infiltrasi sel kurang lebih merata dari semua unsur di traktus uvealis.
1) Oftalmia Simpatika (Uveitis Simpatika)
Merupakan uveitis granulomatosa bilateral yang menghancurkan, yang timbul 10 hari sampai beberapa tahun setelah cedera mata tembus di daerah corpus ciliare, atau setelah kemasukan benda asing. 90% kasus terjadi dalam 1 tahun setelah cedera. Penyebabnya tidak diketahui, namun penyakitnya agaknya berkaitan dengan hhipersensitivitas terhadap beberapa unsur dari sel-sel berpigmen di uvea.
2) Uveitis Tuberculosis
Uveitis tuberculosis jauh lebih sering didiagnosis secara klinik daripada membuktikan penyakit ini dengan menemukan bacilli tuberkel dalam jaringan. Meskipun infeksi itu dikatakan ditularkan dari focus primer di tempat lain, tuberculosis uvea jarang ditemukan pada pasien tuberculosis paru aktif.
3) Sarkoidosis
Merupakan penyakit granulomatosa menahun yang belum diketahui penyebabnya, ditandai banyak nodul kutan dan subkutan, juga pada visera dan tulang, dan eksaserbasi dan remisi secara periodic.
4) Onkoserkiasis
Disebabkan oleh Onchocerca volvulus dan penyebab utama kebutaan. Onchocerca volvulus ditularkan oleh Simulium damnosum, lalat hitam yang bersarang di daerah berarus deras – karenanya diberi istilah “buta sungai”.
5) Sistiserkosis
Disebabkan oleh termakannya telur Taenia solium atau oleh peristalsis terbaik pada kasus obstruksi usus karena cacing pita dewasa. Bentuk larva (Cysticercus cellulosae) adalah yang paling umum memasuki mata manusia.
Berdasarkan patologi, dapat dibedakan dua jenis besar uveitis : yang non-granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa.
a. Non-granulomatosa
- Umumnya tidak ditemukan organisme pathogen dank arena berespon baik terhadap terapi kortikosteroid, diduga peradangan ini adalah semacam fenomena hipersensitifitas.
- Terutama timbul di bagian anterior traktus, yakni iris dan corpus ciliare. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrasi sel-sel limfosit dan sel plasma dalam jumlah cukup banyak dan sedikit sel mononuclear. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di dalam kamera okuli anterior.
b. Granulomatosa
- Umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh organisme penyebab (mis., Myobacterium tuberculosis atau Toxoplasma gondii). Meskipun begitu pathogen ini jarang ditemukan, dan diagnosis etiologik pasti jarang ditegakkan.
- Dapat mengenai sembarang bagian traktus uvealis namun lebih sering pada uvea posterior. Terdapat kelompok nodular sel-sel epithelial dan sel-sel raksasa yang dikelilingi limfosit di daerah yang terkena.
- Berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan, kadang dengan remisi dan eksaserbasi, dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dengan penurunan penglihatan nyata walau dengan pengobatan terbaik.
Meskipun ada usaha untuk menggolongkan semua bentuk uveitis menurut lokasi dan morfologinya, perlu disadari kemungkinan adanya saling tumpang tindih. Jadi sarkoidosis dapat menunjukkan tuberkel-tuberkel non-perkijuan nyata, atau dapat terlihat sebagai uveitis difusa.
3. Etiologi
a. Uveitis Anterior
Autoimun
- Artritis Rheumatoid Juvenilis
- Spondylitis Ankilosa
- Sindrom Reiter
- Colitis Ulserativa
- Uveitis Terinduksi-Lensa
- Sarkoidosis
- Penyakit Crohn
- Psoriasis
Infeksi
- Sifilis
- Tuberculosis
- Lepra (Morbus Hansen)
- Herpes Zoster
- Herpes Simpleks
- Onkoserkiasis
- Adenovirus
Keganasan
- Sindrom Masquerade
Retinoblastoma
Leukemia
Limfoma
Melanoma Maligna
Lain-Lain
- Idiopatik
- Uveitis Traumatika, termasuk Cedera Menembus Ablasio Retinae
- Iridosiklitis Heterokronik Fuchs
- Gout
- Krisis Glaukomatosiklitik
b. Uveitis Posterior
Penyakit infeksi
Virus
CMV, herpes simpleks, herpes zoster, rubella, rubeola, HIV, virus Epstein-Barr, virus coxsackie, Nekrosis retina akut
Bakteri
Myobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadic dan endemis, Nocardia, Neisseria meningitides, Myobacterium avium-inntrasellulare, Yersinia, dan Borrelia (penyebab penyakit Lyme)
Fungus
Candidia, Histoplasma, Cryptococcus, dan Aspergillus
Parasit
Toxoplasma, Toxocara, Cysticercus, dan Onchocerca
Penyakit Non-Infeksi
Autoimun
Penyakit Behcet
Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada
Poliarteritis nodosa
Ofthlmia simpatis
Vaskulitis retina
Keganasan
Sarcoma sel reticulum
Melanoma maligna
Leukemia
Lesi metastatik
Etiologi tak diketahui
Sarkiodosis
Koroiditis geografik
Epiteliopati pigmen plakoid multifocal akut
Retinopati “birdshot”
Epiteliopati pigmen retina
c. Uveitis Difus
Sarkoidosis
Tuberculosis
Sifilis
Onkoserkiasis
Brucellosis
Oftalmia simpatis
Penyakit behcet
Sistiserkosis
Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada
Sindrom Masquerade (Retinoblastoma, Leukemia)
Benda asing intraokuler
4. Patofisiologi
Uveitis diawali dengan adanya inflamasi dari berbagai factor diantaranya eksogen dan endogen. Dari factor eksogen, diantaranya terdiri dari virus (CMV, herpes simpleks, herpes zoster, rubella, rubeola, HIV, virus Epstein-Barr, virus coxsackie, Nekrosis retina akut), bakteri (Myobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadic dan endemis, Nocardia, Neisseria meningitides, Myobacterium avium-inntrasellulare, Yersinia, dan Borrelia (penyebab penyakit Lyme), fungus (Candidia, Histoplasma, Cryptococcus, dan Aspergillus), dan parasite (Toxoplasma, Toxocara, Cysticercus, dan Onchocerca). Benturan dan trauma di area mata serta terpaparnya mata oleh cairan asam dan bersifat alkali juga dapat mengakibatkan timbulnya radang.
Invasi berbagai macam mikroba aktif ini kemudian masuk melalui pembuluh darah dan ikut beredar di dalamnya. Akibat dari banyaknya pembuluh darah pada mata, mengakibatkan cepatnya mikroba menginvasi area mata, terutama area traktus uvealis. Pembuluh-pembuluh besar pada mata yang menyuplai darah ke mata melalui traktus uvealis diantaranya arteri centralis retinae, arteri ciliaris posterior longa, arteri ciliaris anterior (cabang dari a. ophthalmica), arteri episcleralis, aa. ciliares posterior breves, arteri conjunctivalis anterior, arteri ophthalmica (percabangan dari a. carotis interna), arteri lacrimalis, vena centralis retinae, vena episcleralis, vena ciliaris anterior, vena conjunctivalis anterior, vena magna cerebri (vena pada cerebri yang bercabang membentuk pembuluh-pembuluh vena ke mata).
Faktor endogen sendiri juga memiliki peran besar terhadap terinfeksinya traktus uvealis, diantaranya karena 1) proses autoimun, seperti penyakit Artritis Rheumatoid Juvenilis, Spondylitis Ankilosa, Sindrom Reiter, Colitis Ulserativa, Uveitis Terinduksi-Lensa, Sarkoidosis, Penyakit Crohn, Psoriasis, Penyakit Behcet, Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, Poliarteritis nodosa, Ofthlmia simpatis, dan Vaskulitis retina, 2) proses infeksi seperti Sifilis, Tuberculosis, Lepra (Morbus Hansen), Herpes Zoster, Herpes Simpleks, Onkoserkiasis, dan Adenovirus, 3) proses keganasan seperti Sindrom Masquerade, Retinoblastoma, Leukemia, Limfoma, dan Melanoma Maligna.
Adapun factor idiopatik dari uveitis sendiri diantaranya Sarkiodosis, Koroiditis geografik, Epiteliopati pigmen plakoid multifocal akut, Retinopati “birdshot”, Epiteliopati pigmen retina, Uveitis Traumatika, termasuk Cedera Menembus Ablasio Retinae, Iridosiklitis Heterokronik Fuchs, Gout, dan Krisis Glaukomatosiklitik.
Proses infeksi akan mengakibatkan dilatasi pembuluh darah yang akan menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi perikorneal atau pericorneal vascular injection). Peningkatan permeabilitas ini akan menyebabkan eksudasi ke dalam akuos humor, sehingga terjadi peningkatan konsentrasi protein dalam akuos humor.
Dalam proses autoimun, bahan yang bisa merangsang respon imunitas disebut antigen. Antigen adalah molekul yang mungkin terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel (seperti bakteri, virus, atau sel kanker). Biasanya, sistem imunitas bereaksi hanya terhadap antigen dari bahan asing atau berbahaya, tidak terhadap antigen dari orang yang memiliki jaringan sendiri. Tetapi, sistem imunitas kadang-kadang rusak, menterjemahkan jaringan tubuh sendiri sebagai antibodi asing (disebut autoantibodi) atau sel imunitas menargetkan dan menyerang jaringan tubuh sendiri. Respon ini disebut reaksi autoimun. Hal tersebut menghasilkan radang dan kerusakan jaringan. Efek seperti itu mungkin merupakan gangguan autoimun, tetapi beberapa orang menghasilkan jumlah yang begitu kecil autoantibodi sehingga gangguan autoimun tidak terjadi.
Reaksi autoimun pada uveitis dicetuskan oleh senyawa yang ada di badan yang normalnya dibatasi di area tertentu (dan demikian disembunyikan dari sistem kekebalan tubuh) dilepaskan ke dalam aliran darah. Misalnya, pukulan ke mata bisa membuat cairan di bola mata dilepaskan ke dalam aliran darah. Cairan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk mengenali mata sebagai benda asing dan menyerangnya.
5. Manifestasi klinis
Oleh karena uveitis granulomatosa umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh organisme penyebab (mis., Myobacterium tuberculosis atau Toxoplasma gondii) dan hal ini mirip dengan uveitis posterior, dan uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus, yakni iris dan corpus ciliare dan hal ini juga mirip dengan kejadian pada uveitis anterior, maka penulis mengangkat manifestasi klinis hanya dari uveitis granulomatosa dan non-granulomatosa.
a. Non-granulomatosa
Onset-nya khas akut, dengan rasa sakit, injeksi, fotofobia, dan penglihatan kabur. Terdapat kemerahan sirkumkorneal yang disebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh darah limbus. Deposit putih halus (presipitat keratik, “KP”) pada permukaan posterior kornea dapat dilihat dengan slit-lamp atau dengan kaca pembesar. Pupilnya kecil dan mungkin terdapat kumpulan fibrin dengan sel di kamera anterior. Jika terdapat synechiae posterior, bentuk pupil tidak teratur.
Pada kasus di dunia kesehatan, biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri mata, penglihatan kabur, terdapat fotofobia, lakrimasi, dan pupil kecil.
b. Granulomatosa
Dapat menimbulkan uveitis posterior, anterior, ataupun keduanya. Biasanya onsetnya tidak kentara. Penglihatan berangsur kabur dan mata memerah secara difus daerah sirkumkornea. Sakitnya minimal dan fotofobianya tidak sama berat dengan bentuk nongranulomatosa. Pupil sering mengecil dan menjadi tidak teratur karena terbentuk synechiae posterior. KP “motton fat” besar-besar terlihat di permukaan posterior kornea dengan slit-lamp. Tampak kemerahan (flare) dan sel-sel di kamera anterior, dan nodul yang terdiri atas kelompok sel-sel putih tampak di tepian pupil iris (Nodul Koeppe). Nodul-nodul ini sepadan dengan KP mutton fat. Nodul serupa di seluruh stroma iris disebut nodul Busacca.
Pada kasus di dunia kesehatan, biasanya pasien datang dengan keluhan hampir mirip dengan uveitis non-granulomatosa yakni penurunan penglihatan, tidak nyaman yang ringan pada mata . Gejala awal pada uveitis mungkin tidak terlalu berat. Penglihatan menjadi kabur atau penderita melihat bintik–bintik hitam yang nelayang–layang. Pada iritis biasanya timbul nyeri hebat, kemerahan pada sklera dan fotofobia.
6. Komplikasi
Uveitis anterior dapat mengakibatkan synechiae anterior perifer, yang menghalangi humor akueus keluar di sudut kamera anterior dan berakibat glaucoma.
Synechiae posterior dapat menimbulkan glaucoma dengan memungkinkan berkumpulnya humor akueus di belakang iris, sehingga menonjolkan iris ke depan. Pelebaran pupil sejak dini dan terus menerus mengurangi kemungkinan timbulnya synechiae posterior.
Gangguan metabolism lensa dapat menimbulkan katarak. Ablasio retina kadang-kadang timbul akibat tarikan pada retina oleh benang-benang vitreus. Edema kistoid macular dan degenerasi dapat terjadi pada uveitis anterior yang berkepanjangan.
7. Pemeriksaan penunjang
a. Tes kulit terhadap tuberculosis
Ujicoba Kulit Tuberculin yang juga dikenal sebagai TST atau ujicoba Mantoux, dipakai untuk memeriksa apakah seseorang terkena TBC.
• Suntikannya masuk sedikit ke bawah kulit - biasanya di lengan kiri, dan selang 48-72 jam bagian itu diteliti apakah ada pembengkakan yang terjadi.
• Pembengkakan mungkin terjadi jika seseorang terkena infeksi TBC atau pernah diberi vaksin BCG. Jika bengkak, akhirnya akan menghilang sendiri.
• Sebagian kecil masyarakat mendapat hasil TST positip tetapi pada kebanyakan orang yang terkena, tidak berkembang menjadi penyakit TBC.
b. Tes kulit terhadap histoplasmosis
c. Antibody terhadap toksoplasmosis
d. Funduskopi
Digunakan untuk memeriksa reflek fundus, dengan cara jatuhkan sinar oftalmoskop ke dalam bola mata melalui pupil. Fokus diletakkan pada kornea atau lensa. Bila ada kekeruhan pada kornea akan terlihat bayangan hitam pada dasar jingga. Penilaian : reflek fundus cemerlang dan kurang cemerlang.
e. Pemeriksaan Slit Lamp
Tujuan penggunaan slit lamp adalah untuk memeriksa segmen anterior mata, untuk pemeriksaan gangguan fungsi N. V (N. Trigeminus), refelk kedip, dan sensibilitas kornea terhadap cahaya.
f. Foto X-ray
Digunakan untuk memeriksa proyeksi sinar dan untuk menilai fungsi retina. Penilaiannya meliputi proyeksi sinar baik : bisa menentukan keempat arah sinar, proyeksi sinar buruk : tidak bisa menetukan keempat arah sinar.
g. Pemeriksaan darah lengkap
8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan medis
1) Terapi
Uveitis Non-granulomatosa
Analgetika sistemik secukupnya untuk rasa sakit, dan kaca mata gelap untuk fotofobia. Pupil harus tetap dilebarkan. Kesanggupan atropine untuk menghilangkan spasme siliaris taka da bandingnya. Sekali sudah reda, terapi dilanjutkan dengan dilatator kerja singkat seperti cyclopentolate untuk mencegah spasme dan terbentuknya synechiae posterior. Tetes steroid local biasanya cukup efektif untuk kerja anti-radangnya. Pda kasus berat dan tidak responsive, dapat diberikan suntikan steroid periokuler, dan kadang-kadang sekali bahkan steroid sistemik.
Uveitis Granulomatosa
Jika segmen anterior terkena, diindikasikan pelebaran pupil dengan atropine 2%. Karena sering dapat dibuat diagnosis penyebab sementara, yang kemungkina besar benar, upaya untuk mendapatkan terapi spesifik dalah sebagai berikut :
Kemoterapi Anti-Infeksi
|
Penggunaan Kortikosteroid
| |
Toksoplasmosis
|
Jika penglihatan pusat terancam, beri pyrimethamine, 75 mg per os sebagai dosis awal untuk 2 hari diikuti 25 mg satu kali sehari untuk 4 minggu, bersama-sama trisulfapyrimidine (sulfadiazine, sulfamerazine, dan sulfamethazine, 0,167 g masing-masing per tablet) 2 g per os, sebagai dosis awal diikuti 0,5 g 4 kali sehari untuk 4 minggu.
|
Jika responnya tidak baik setelah 2 minggu, lanjutkan terapi anti-infeksiya dan tambahkan kostikosteroid sistemik, mis.,prednisolone, 20-25 mg 4 kali sehari untuk 1 minggu, dilanjutkan dengan 60-120 mg selang satu hari, untuk melindungi maula. Kortikosteroid dapat mengaktifkan organisme toksoplasmosis dan tuberculosis, namun diberi dengan resiko yang diperhitungkan untuk mengendalikan respon radang bila akan mengganggu penglihatan.
|
Tuberculosis
|
Isoniazid, 300 mg PO setiap hari, ethambutol, 400 mg PO 2 kali sehari, prydoxine, 50 mg PO setiap hari yang dilanjutkan untuk 9 bulan
|
Jika tidak ada respon nyata dalam 6 minggu, lanjutkan terapi anti-mikroba dan beri kortikosteroid sistemik, mis., prednisolone, 40-80 mg 2 hari sekali untuk 2 bulan
|
Sarkoidosis
|
Beri kortikosteroid local dan midriatika dan selama tahap-tahap aktif, dengan kortikosteroid sistemik seperti prednisolone, 40-80 mg 2 hari sekali. Beri KCl tambahan, 2 g 3 kali sehari. Perhatikan kontraindikasi terhadap terapi kortikosteroid sistemik.
| |
Oftalmia Simpatis
|
Beri kortikosteroid local dan midriatika dan kortikosteroid sistemik dosis tinggi, mis., prednisone 40-120 mg 2 kali sehari. Perhatikan kontraindikasi terhadap kortikosteroid sistemik, dan mungkin diperlukan dosis yang lebih tinggi dan pengobatan yang lebih lama.
| |
Pemberian dua hari sekali dimaksudkan untuk memperkecil efek supresi adrenal dan penghentiannya mudah
|
2) Penanganan komplikasi
Glaucoma adalah komplikasi yang umum. Terapi terhadap uveitis sangat penting, khususnya melebarkan pupil dengan atropine (bukan mengecilkan pupil, seperti pada semua glaucoma primer). Beta-blocker topical sering digunakan, dan kadang-kadang beta-agonis dipiverin sedikit menolong. Pada kasus berat, inhibitor anhydrase karbonik sistemik sangat membantu. Obat ini juga bekerja mengurangi produksi humor akueus.
Katarak sering timbul pada uveitis menahun. Prognosis operasi katarak pada kasus demikian tergantung pada penyebab uveitis, selain kesanggupan ahli bedah mengendaikan radang intraokuler pra-bedah. Hal yang sama berlaku untuk operasi ablation retinae.
b. Penatalaksanaan keperawatan
Uveitis anterior kronis (iritis) merupakan jenis yang paling sering dan ditandai dengan riwayat nyeri, fotofobia, pandangan kabur, dan mata merah. Obat tetes mata dilator harus diberikan segera untuk mencegah pembentukan jaringan parut dan adesi ke lensa (sinekia), yang dapat menyebabkan glaucoma dengan menghambat aliran keluar aqueous.
Kortikosteroid local dipergunakan untuk mengurangi peradangan dan kaca mata hitam dan penatalaksanaan nyeri dapat memberikan pengurangan gejala.
Uveitis intermediet (pars plenis, siklitis kronis) ditandai dengan “ floating spot “ dalam lapang pandangan. Diberikan steroid topical atau injeksi untuk kasus yang berat.
Uveitis posterior (peradangan yang mengenai koroid retina) biasanya berhubungan dengan berbagai macam penyakit sistemik seperti AIDS, herpes simpleks (zoster), toksoplasmosis, tubercolosis (sarkoidotis). Pasien mengeluh penurunan atau distorsi penglihatan. Mungkin ada kemerahan dan nyeri. Kortikosteroid sistemik diindikasikan untuk mengurangi peradangan bersama dengan terapi terhadap keadaan sistemik yang endasarinya.
9. Pencegahan
Pencegahan terhadap uveitis :
a. Hindari factor infeksius seperti paparan benda atau zat berbahaya terhadap mata
b. Pola perilaku seksual sehat
c. Konsumsi makan-makanan yang banyak mengandung vitamin A (pada wortel), kalsium, zeaxanthin, sulforaphane (brokoli dan bayam) zat lutein (buah alpukat) untuk menjaga kesehatan mata.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS UVEITIS
2.2.1 Pengkajian
1. Pengkajian Umum
A. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Mengkaji adanya :
a) Bintik hitam dan floating spot saat melihat
b) Penglihatan kabur (susah memfokuskan penglihatan)
c) Tajam penglihatan menurun
d) Sakit mata ketika melihat sesuatu dalam jangka waktu yang lama
e) Mata memerah secara difus daerah sirkumkornea
f) Hipertermi
g) Nyeri akut
h) Eksudasi pada mata
2) Riwayat kesehatan dahulu
a) Riwayat invasi mikroba aktif ke jaringan oleh Myobacterium tuberculosis dan Toxoplasma gondii
b) Riwayat artritis, terpajan histoplasmosi, sifilis, sitomegalovirus, retinitis, herpes, dan infeksi rubella.
c) Trauma, kecelakan sehinga benda asing mengenai organ mata.
d) Konsumsi obat-obatan untuk penyakit tertentu atau narkoba (intravenous drug induced)
e) Penggunaan jarum suntik secara bersamaan dan bergantian serta perilaku seksual (Sexual Transmitted Disease atau AIDS)
f) Pernah menjalani operasi yang berefek menganggu organ mata contohnya bedah intraokuler terhadap katarak atau glaukoma
3) Riwayat kesehatan keluarga
Memiliki riwayat saudara/keluarga dengan penyakit yang berpotensi menyebar dengan cepat seperti TB, sifilis, dan lain-lain.
B. Pola kebiasaan
a) Makan dan minum
Mengkaji pola makan pasien, kapan saat mengalami mual dan muntah, frekuensi mual dan muntah
b) Gerak dan Aktivitas
Megkaji data pasien mengenai kebiasaan sehari-hari, pergerakan, frekuensi dibantu oleh orang lain, dan tingkat keleluasaan.
c) Kebersihan diri
Mengkaji frekuensi bantuan saat melakukan aktivitas kebersihan diri akibat penurunan kualitas penglihatan
d) Pengaturan suhu tubuh
Mengkaji adanya peningkatan suhu tubuh, frekuensi dan pola peningkatan suhu.
e) Rasa nyaman
Mengkaji adanya nyeri dengan memberikan skala intensitas nyeri 0-10
f) Data social
Mengkaji data social pasien seperti interaksi dengan keluarga atau petugas kesehatan, perilaku saat mengalami sakit dan sebelum mengalami sakit
C. Pemeriksaan Fisik
Mata
- Inspeksi
Terdapat eksudasi di area anterior mata, kemerahan pada sirkum korneal, fotofobia, pupil kecil, terdapat synecheae anterior atau posterior dengan slit lamp, nodul pada iris, terdapat epifora (air mata yang mengucur), COA (Camera Oculi Anterior) keruh dan dalam.
- Palpasi
Nyeri tekan area palpebra
D. Pemeriksaan penunjang :
a. Funduskopi
b. Pemeriksaan Slit Lamp
c. Foto X-ray
d. Pemeriksaan darah lengkap
2.2.2 Perumusan Diagnosa
Pelabelan diagnosa diambil dari NANDA 2009-2011 :
1. Gangguan sensori persepsi: penglihatan berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori akibat tajam penglihatan menurun dan penglihatan kabur.
2. Resiko Cedera berhubungan dengan penglihatan kabur, distorsi penglihatan.
3. Nyeri akut berhubungan dengan proses peningkatan protein pada humor aquos dan peningkatan TIO.
4. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi pada traktus uvealis.
5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan eksudasi cairan purulent pada bilik mata depan.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan akumulasi mikroorganisme pada traktus uvealis.
7. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas pembuluh darah lambung, mual muntah.
8. Defisit perawatan diri berhubungan dengan tajam penglihatan menurun, penglihatan kabur.
9. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai penyakit.
2.2.3 Nursing Care Plan
NO
|
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
|
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1.
|
Gangguan sensori persepsi: penglihatan berhubungan dengan :
¨ Gangguan penerimaan sensori
¨ Kekeruhan lensa
¨ Synechiae
¨ Penurunan suplai nutrisi ke mata
¨ Tajam penglihatan menurun
¨ Penglihatan kabur
¨ ……….
Ditandai dengan
DS :
¨ Pasien mengatakan terdapat bintik hitam saat melihat
¨ Pasien mengatakan penglihatan kabur dan susah memfokuskan objek
¨ Pasien mengatakan susah melihat benda yang jauh
¨ ……….
DO :
¨ Visus mata pasien menurun (N : 6/6, 5/5)
¨ TIO pasien meningkat (N:15-20 mmHg)
¨ Pasien tampak kesakitan jika melihat sesuatu dalam jangka waktu yang lama
¨ Pemeriksaan TTV pasien :
Nadi>100x/menit
TD>120/80 mmHg
RR>24x/menit
Suhu>37,4oC
¨ ………
|
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan … x 24 jam diharapkan gangguan sensori persepsi: penglihatan pasien teratasi dengan kriteria hasil:
¨ Ketajaman penglihatan meningkat
¨ Tidak terdapat bintik hitam pada lapang pandang
¨ Pasien dapat memfokuskan pengli-hatan
¨ Pasien dapat melihat dengan jelas
¨ Hasil Pemeriksaan TTV dalam rentang normal :
RR : 16-20x/menit
Nadi : 80-100x/menit
TD : 110-120/70-80 mmHg
¨ ………..
|
Mandiri
1. Observasi tanda-tanda vital pasien (TD, N, S, dan RR).
2. Kaji ketajaman penglihatan (visus).
3. Observasi penglihatan yang kabur dimana dapat terjadi bila menggunakan tetes mata.
4. Ajarkan pasien untuk menangani keterbatasan penglihatan, misalnya hindari cahaya yang menyilaukan, istirahatkan mata apabila sudah terlihat tanda-tanda kelelahan.
5. Ajarkan pasien untuk pemberian tetes mata (jumlah tetesan, jadwal dan dosis).
6. Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan penglihatan.
7. Anjurkan pasien menggunakan kaca mata ketika terbangun dan tutup dengan penutup mata selama tidur sesuai kebutuhan.
8. Bersihkan mata, apabila ada kotoran dan gunakan kapas basah dan bersih.
Kolaborasi
9. Kolaborasi dalam pemberian tetes mata Chloramphenicol / Kloramfenikol, Tetrasiklin
10. Kolaborasi dalam pemberian siklopegik
|
1. Pengawasan tanda-tanda penyebaran infeksi dan keadaan umum pasien
2. Penggunaan Snellen Card akan sangat membantu untuk mengetahui keabnormalan visus pasien.
3. Cahaya yang kuat menyebabkan rasa tidak nyaman setelah menggunakan tetes mata dilator.
4. Menurunkan bahaya keamanan sehubungan dengan perubahan lapang pandang/ kehilangan penglihatan dan akomodasi pupil terhadap sinar lingkungan.
5. Mengontrol TIO dan mencegah kehilangan penglihatan lanjut.
6. Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.
7. Kaca mata dapat digunakan sebagai proteksi awal terhadap paparan benda asing ke mata dan penutup mata saat tidur dapat menghindari eksudasi berlebih
8. Untuk mencegah perlengketan palpebra akibat penumpukan secret.
9. Menurunkan jumlah organisme penyebab infeksi
10. Pemberian sikloplegik ditujukan sebagai anti inflamasi ringan, analgesic, mencegah/ melepaskan sinekia posterior dan untuk mengistirahatkan mata
|
2.
|
Resiko Cedera berhubungan dengan :
¨ Penglihatan kabur
¨ Distorsi penglihatan
¨ Penurunan ketajaman penglihatan
¨ ……….
Ditandai dengan
DS :
¨ Pasien mengatakan susah melihat
¨ ………..
DO :
¨ Pasien terlihat meraba saat akan mengambil barang.
¨ …………
|
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan … x 24 jam diharapkan tidak terjadi cedera pada pasien dengan criteria hasil:
¨ Berkurangnya factor yang dapat mengakibatkan cedera
¨ Pasien tidak mengalami cedera
¨ ………..
|
Mandiri
1. Observasi tingkah laku pasien
2. Jauhkan alat-alat yang berpotensi menimbulkan bahaya misalnya : gunting, pisau, barang pecah belah.
3. Awasi dan bantu pasien dalam melakukan suatu kegiatan
4. Anjurkan pasien meminta bantuan setiap kali melakukan kegiatan
5. Anjurkan keluarga pasien untuk ikut mengawasi pasien
6. Pertahankan perlindungan mata sesuai indikasi
|
1. Tingkah laku hiperaktif mengindikasikan pasien beresiko mengalami cedera
2. Menghindarkan pasien dari luka tusuk/ gores.
3. Untuk mencegah terjadinya cedera/jatuh/luka
4. Untuk mencegah terjadinya cedera/jatuh/luka
5. Pengawasan dari petugas kesehatan (perawat) tidak dapat merawat selama 24 jam penuh maka dari itu perlu bantuan keluarga atau orang terdekat pasien
6. Melindungi mata dari cedera kecelakaan
|
3.
|
Nyeri akut berhubungan dengan
¨ Proses peningkatan protein pada humor aquos
¨ Peningkatan TIO
¨ Kerusakan saraf sensorik
¨ Proses inflamasi pada traktus uvea
¨ …………….
Ditandai dengan
DS :
¨ Pasien mengatakan matanya sakit ketika melihat sesuatu dalam jangka waktu yang lama
¨ …………..
DO :
¨ Pasien tampak meringis
¨ Skala nyeri (1-10)
¨ TTV (N> 100 x/menit, S>37,4oC, TD> 120/80 mmHg, RR> 24 kali/menit).
¨ ………..
|
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau teratasi dengan criteria hasil:
1. Pasien tampak rileks
2. TTV dalam batas normal (N=60-100 x/menit, S=36,5oC-37,4oC, TD= 110-130/60-80 mmHg, RR=16-20 x/menit)
3. Skala nyeri ringan
|
Mandiri
1. Kaji skala, lokasi, dan faktor yang memperberat atau meringankan nyeri.
2. Observasi TTV
3. Berikan waktu istirahat yang cukup.
4. Anjurkan teknik distraksi dan relaksasi
5. Anjurkan pasien untuk mengistirahatkan matanya saat sudah tampak tanda-tanda kelelahan.
Kolaborasi
6. Delegatif dari dokter untuk pemberian obat analgetik sesuai dengan program terapi.
|
1. Mengevaluasi terapi yang diberikan dan membantu menentukan tindakan selanjutnya.
2. Mengetahui perkembangan kondisi pasien
3. Istirahat yang cukup dapat meningkatkan perasaan rileks pada pasien
4. Distraksi dan relaksasi, dapat mengurangi rasa nyeri pasien
5. Dapat meringankan rasa nyeri pada saat memandang dan mencegah iritasi lebih lanjut.
6. Analgetik membantu mengurangi rasa nyeri
|
4.
|
Hipertermi
Berhubungan dengan
¨ Pelepasan pirogen
¨ proses inflamasi pada traktus uvealis
¨ ………
DS:
¨ Pasien mengatakan badannya panas
¨ ………
DO:
¨ Badan pasien teraba panas
¨ Suhu tubuh >37,4oC
¨ Turgor kulit tidak elastic
¨ Mukosa bibir kering
¨ Kulit tampak kemerahan.
¨ …………
|
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan … x 24 jam diharapkan suhu tubuh pasien dalam batas normal dengan criteria hasil:
¨ Suhu tubuh dalam rentang normal (36,8oC-37,4oC)
¨ Pasien mengatakan badannya tidak panas lagi.
¨ Badan pasien tidak teraba panas
¨ Mukosa bibir lembab
¨ Turgor kulit elastic
¨ Kulit tidak tampak kemerahan
|
Mandiri
1. Observasi tanda-tanda vital pasien (terutama suhu)
2. Beri kompres hangat pada lipatan axilla.
3. Anjurkan pasien untuk membatasi aktivitas.
4. Ajarkan pasien pentingnya mempertahankan cairan yang adekuat (sedikitnya 2 L/hari) untuk mencegah dehidrasi.
5. Pantau suhu lingkungan, batasi/ tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi.
Kolaborasi
6. Delegatif dari dokter untuk pemberian obat antipiretik.
|
1. Mengetahui suhu tubuh pasien dan menentukan intervensi lebih lanjut.
2. Penggunaan kompres dingin yang ditempelkan di tubuh menyebabkan thermoregulator (pengatur suhu) yang terdapat di hipotalamus keliru memberi perintah. Perintah yang seharusnya menurunkan suhu berubah menjadi menaikkan suhu karena benda dingin yang menempel. Maka orang yang demam diberikan kompres menggunakan air dingin atau es akan lebih demam lagi saat kompres tersebut dihentikan.
3. Membantu menurunkan suhu tubuh pasien melalui proses konduksi
4. Pirogen yang masuk ke cairan tubuh dapat mengakibatkan mekanisme tubuh untuk melakukan metabolisme lebih besar sehingga evaporasi berlebihan dapat terjadi.
5. Suhu ruangan/ jumlah linen harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
6. Membantu menurunkan demam
|
5.
|
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan
¨ Eksudasi cairan mata
¨ Epifora
¨ …………
ditandai dengan
DS:
¨ Pasien mengatakan malu terhadap keadaan matanya
¨ ………
DO:
¨ Pasien tampak menutupi matanya saat diajak berbicara
¨ ………..
|
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan … x 24 jam diharapkan citra tubuh pasien positif, dengan kriteria hasil:
¨ Pasien tidak merasa malu dengan keadaan tubuhnya
¨ Pasien tidak menutupi matanya saat diajak berbicara
¨ …………..
|
Mandiri
1. Kaji makna perubahan pada pasien
2. Lakukan pendekatan yang intens dan positif pada klien dan keluarga
3. Dorong klien untuk mengekspresikan perasaan khusus mengenai cara ia memandang atau berpikir mengenai dirinya
Kolaborasi
4. Kolaborasi dalam merujuk pasien ke klinik psikiatri bila diperlukan
|
1. Episode traumatic mengakibatkan perubahan tiba-tiba.
2. Membina kepercayaan dan keterbukaan terhadap kondisi dan respon yang dirasakan klien dan keluarga untuk dapat memilih dan menerapkan intervensi keperawatan.
3. Mengetahui konsep diri klien terhadap dirinya sendiri, sehingga dapat menetapkan intervensi yang akan diberikan.
4. Membantu klien mengatasi masalah kejiwaan dan emosi yang mungkin menetap.
|
6.
|
Resiko infeksi berhubungan dengan
¨ Akumulasi mikroorganisme pada traktus uvealis
¨ …………
ditandai dengan
DS :
¨ Paien mengeluh panas
¨ Pasien mengeluh nyeri
¨ Pasien mengeluh lemas
¨ …………
DO :
¨ Leukosit> 10.000/mm3
¨ Mata pasien tampak kemerahan.
¨ …………
|
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan … x 24 jam diharapkan tidak terjadi penyebaran infeksi dengan kriteria hasil:
¨ Pasien tidak mengeluh manifestasi klinis infeksi (pireksia, eksudasi, eritema, edema)
¨ Mata tidak tampak kemerahan atau berkurang
¨ Jumlah leukosit dalam rentang normal (4000-10000 mm3)
¨ ……………..
|
Mandiri
1. Observasi manifestasi klinis infeksi (pireksia, eksudasi, eritema, edema)
2. Pertahankan teknik aseptic dalam perawatan mata
3. Ajarkan untuk tidak mengusap mata
Kolaborasi
4. Kolaborasi dalam pemberian antibiotic dan antimikotika sesuai indikasi
5. Pemeriksaan laboratorium
|
1. Adanya tanda-tanda infeksi menandakan perkembangan dan penyebaran infeksi
2. Mengontrol dan mencegah penyebaran infeksi silang
3. Mencegah kontaminasi dan penimbulan lesi pada area mata
4. Antibiotic dapat menekan proses infeksi akibat bakteri. Antimikotika dapat menekan proses infeksi akibat jamur
5. Kadar leukosit menentukan tingkat keparahan infeksi
|
7.
|
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
¨ Peningkatan permeabilitas pembuluh darah pada lambung
¨ …………
ditandai dengan
DS :
¨ Pasien mengatakan mual dan terkadang sampai muntah
¨ ………..
DO :
¨ Nafsu makan pasien menurun
¨ Pasien terlihat muntah
¨ Pasien tampak tidak menghabiskan makanan yang diberikan.
¨ ………….
|
Setelah dilakukan asuhan keperawata … x 24 jam diharapkan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pasien teratasi, dengan kriteria hasil:
¨ Mual dan muntah berkurang atau tidak ada
¨ Pasien menghabiskan 1 porsi makanan
¨ Nafsu makan meningkat
¨ …………….
|
Mandiri
1. Observasi BB, TB dan LL pasien
2. Anjurkan pasien untuk makan makanan dalam keadaan hangat dengan jumlah sedikit tapi sering
3. Anjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori tinggi protein
Kolaborasi
4. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam penataan makanan, rasa makanan, dan keberagaman menu makanan sesuai indikasi
|
1. Memantau perubahan BB pasien dan mengetahui IMT
2. Pemberian makanan yang hangat dengan jumlah sedikit tapi sering membantu pasien untuk meningkatkan nutrisi dan menghindari mual dan muntah
3. Meningkatkan asupan nutrisi pasien
4. Meningkatkan nafsu makan pasien
|
8.
|
Defisit perawatan diri berhubungan dengan
¨ Tajam penglihatan menurun
¨ Penglihatan kabur / timbul distorsi
¨ ………….
ditandai dengan
DS:
¨ Pasien mengatakan kebersihan dirinya dibantu oleh keluarga
¨ Pasien hanya mandi 1 kali sehari
¨ Pasien mengatakan penglihatannya kabur sehingga sulit melakukan perawatan diri
¨ …………
DO:
¨ Epifora
¨ Terdapat kotoran pada mata pasien.
¨ Badan pasien tampak kotor
¨ ………………
|
Setelah dilakukan asuhan keperawatan … x 24 jam diharapkan perawatan diri pasien terpenuhi dengan kriteria hasil:
¨ Pasien dapat melakukan perawatan diri secara mandiri
¨ Frekuensi mandi meningkat (2-3 x/hari)
¨ Mata dan tubuh pasien bersih
¨ ……………
|
Mandiri
1. Kaji hambatan pasien terhadap partisipasi dalam perawatan diri
2. Kaji frekuensi mandi pasien
3. Bantu pasien dalam pemenuhan kebersihan diri
4. Dekatkan peralatan mandi dan gunakan warna yang kontras pada peralatan mandi
5. Berikan pujian yang positif terhadap tindakan yang dilakukan pasien
Kolaborasi
6. Kolaborasi dengan tenaga perawat lain dan maksimalkan peran keluarga
|
1. Menentukan tindakan yang dilakukan
2. Mengevaluasi keefektifan intervensi, peningkatan perawatan diri pasien
3. Membantu dalam pemenuhan kebersihan diri pasien
4. Dengan mendekatkan barang-barang dan menggunakan warna yang kontras pada peralatan mandi diharapkan pasien dapat melakukan perawatan diri.
5. Menghargai tindakan pasien dapat meningkatkan kemandirian pasien untuk melakukan perawatan diri
6. Pengawasan akan lebih efektif dan efisien apabila keluarga dilibatkan
|
9.
|
Kurang pengetahuan berhubungan dengan
¨ Kurang informasi mengenai penyakit
¨ ……………
ditandai dengan
DS:
¨ Pasien mengatakan tidak mengerti tentang penyakit dan cara penanganannya
¨ ………
DO:
¨ Tampak bertanya-tanya mengenai penyakit dan cara penanganannya.
¨ ………….
|
Setelah dilakukan asuhan keperawatan … x 24 jam diharapkan pengetahuan pasien terhadap penyakitnya meningkat dengan kriteria hasil:
¨ Pasien paham akan penyakitnya
¨ Pasien mengetahui cara penanganan penyakitnya
¨ Pasien tidak bertanya-tanya tentang penyakitnya
¨ …………
|
Mandiri
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien sehubungan dengan penyakitnya
2. Dorong pasien untuk mengungkapkan masalah mengenai penyakit yang dideritanya
3. Berikan informasi mengenai penyakit dan prognosis penyakit pada klien
4. Evaluasi pemahaman klien terhadap informasi yang telah diberikan
|
1. Mengetahui tingkat pengetahuan pasien
2. Memberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan persepsi mengenai keadaan penyakitnya
3. Informasi dapat meningkatkan pengetahuan dan motivasi klien dalam menjalankan terapi
4. Mengetahui pemahaman klien
|
2.2.4 Implementasi
Merupakan langkah keempat dalam tahap proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan. (Aziz Alimul, 2009).
2.2.5 Evaluasi
1. Gangguan sensori persepsi: penglihatan pasien teratasi
2. Tidak terjadi cedera dan resiko cedera terminimalisasi.
3. Nyeri akut berkurang atau teratasi.
4. Hipertermi teratasi dengan suhu tubuh pasien dalam rentang normal.
5. Gangguan citra tubuh teratasi dengan citra tubuh pasien positif.
6. Tidak terjadi penyebaran infeksi
7. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pasien teratasi.
8. Perawatan diri pasien terpenuhi.
9. Pengetahuan pasien terhadap penyakitnya meningkat.
No comments:
Post a Comment