1. Kepentingan biomedik
Xenobiotik berasal dari bahasa Yunani: Xenos yang artinya asing. Xenobiotik adalah zat asing yang masuk dalam tubuh manusia. Contoh: obat obatan, insektisida, zat kimia tambahan pada makanan (pemanis, pewarna, pengawet) dan zat karsinogen lainya. Xenobiotik umumnya tidak larut air, sehingga kalau masuk tubuh tidak dapat diekskresi. Untuk dapat diekskresi xenobiotik harus dimetabolisme menjadi zat yang larut, sehingga bisa diekskresi.Organ yang paaling berperan dalam metabolisme xenobiotik adalah hati. Ekskresi xenobiotik melalui empedu dan urine. Pada metabolisme obat, pada obat yang sudah aktif → metabolisme xenobiotik fase 1 berfungsi mengubah obat aktif menjadi inaktif, sedang paa obat yang belum aktif → metabolisme xenobiotik fase 1 berfungsi mengubah obat inaktif menjadi aktif
2. Reaksi konjugasi
Mekanisme detoksifikasi dalam tubuh terdiri dari dua tahap utama yaitu :
Transformasi tahap I, terjadi proses oksidasi yang hasilnya dilanjutkan
Transformasi tahap II, yaitu proses konjugasi
Fungsi utama dari reaksi tahap satu dan dua adalah mengoksidasi senyawa xenobiotik dan melanjutkan dengan reaksi konjugasi untuk membuat senyawa xenobiotik menjadi bersifat polar dan mudah disekresikan melalui urin. Masalah yang dapat timbul adalah dihasilkannya produk oksidasi yang reaktif dan mempunyai afinitas yang tinggi pada DNA dan protein sehingga menyebabkan kerusakan DNA atau protein sel. Konjugasi pada DNA dan protein sel merupakan awal dari proses keracunan kronis yang diketahui dapat termanifestasi dalam bentuk berbagai penyakit degeneratif.
Tranformasi tahap II ini memberikan beberapa jalur konjugasi yang memperantarai racun yang bersifat minyak mudah larut dalam air, sehingga dapat dibuang melalui urin, empedu, tinja dan keringat. Reaksi konjugasi ini termasuk :
a. Konjugasi Glukuronidasi (Glucuronidation Conjugation)
b. Konjugasi Sulfasi (Sulfation Conjugation)
c. Konjugasi Glutation (N-acetyl cysteine, dimana asam amino cysteine dan methionin adalah bahan awal)
d. Konjugasi Acetylasi
e. Konjugasi Metilasi (Methylation Conjugation)
f. Konjugasi Asam Amino (Konjugasi glycine, taurine, glutamine, ornithin dan arginin)
Selama proses detoksifikasi, apabila proses tranformasi tahap I terlalu cepat, tetapi tahap dua terlambat, maka akan kelebihan bahan perantara yang sangat beracun, menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih luas, sehingga memerlukan perlindungan antioksidan vitamin A-beta carotene, vitamin C, vitamin E, flavonoid, proantocyanin yang berasal dari tumbuh-tumbuhan..Konjugasi Glukuronidasi (Glucuronidation Conjugation). Konjugasi dengan asam glukuronat ini adalah bentuk transformasi tahap II yang paling umum. Gugusan glukuronat dapat dipindahkan ke beberapa group fungsional termasuk : Alkohol, asam karbosilat, amine, thiols dan beberapa methylene group yang aktif. Proses ini memerlukan enzim UDP-glukuronosyltransferase dan cosubstrat Uridine-5”-diphospho-alpha-glukuronic acid (UDPGA) sebagai sumber asam glukuronat.
a. Konjugasi Sulfasi (Sulfation Conjugation)
Merupakan transformasi tahap II yang menambah gugusan sulfat ke alcohol dan amine, menjadi bentuk sulfate atau sulfonamide, dibantu oleh enzim Sulfotransferase dan cosubstrat 3”-phosphoadenosine-5”-phosphosulphate (PAPS) sebagai sumber group sulfate.
b. Konjugasi Glutation
N-acetyl cysteine, dimana asam amino cysteine dan methionin adalah bahan awal. Sangat penting dalam konjugasi tahap II pada hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dibawah pengaruh enzim glutathione S-transferase, glutation dapat bereaksi dengan serangkaian substrat termasuk epoxide, aryl dan alkyl halide dan bahan majemuk elektrofilik lainnya. Glutation S-transferase terdapat pada fraksi sitosol kebanyakan sel dan organ tubuh seperti hati, ginjal, paru, dan usus halus (Commandeur et al., 1995). Glutation (GSH) adalah tripeptida (-L-glutamil-L-sisteinil-glisin) yang memainkan peran utama dalam biotransformasi dan ekskresi xenobiotika dan pertahanan sel terhadap oxidative stress (Josephy, 1997). Glutation S-transferase (GST) merupakan keluarga enzim yang mengkatalisis reaksi konjugasi glutation dengan sejumlah besar xenobiotika elektrofilik endogen maupun eksogen. GST melindungi sel tubuh terhadap serangan senyawa elektrofil yang sering bersifat sitostatik, mutagenik, dan karsinogenik, dengan jalan mengkatalisis reaksi konjugasi antara gugus tiol (-SH) pada glutation (GSH) dengan pusat elektrofilik senyawa elektrofil. Reaksi ini akan menghasilkan produk konjugat glutation yang selanjutnya akan ditranspor ke ginjal dan dimetabolisme lebih lanjut menjadi asam merkapturat (Josephy, 1997).
c. Konjugasi Acetylasi
Tranformasi ini tidak menghasilkan racun-racun yang larut air. Alcohol dan amine dapat diacetylasi dengan acetyl CoA, dibawah pengaruh enzim acetyl transferase.
d. Konjugasi Metilasi (Methylation Conjugation).
Transformasi ini kurang penting dibanding transformasi tahap II lainnya. Pada umumnya hanya dipakai untuk mentranformasi beberapa jenis thiols, phenol dan amines yang dihasilkan dalam tubuh saja dengan perantara S-Adenosyl methionine (SAM) dan dikatalisasi oleh beberapa jenis enzim methyl transferase.
3. Hal-hal yang mempengaruhi reaksi xenobiotik
Aktivitas enzim yang memetabolisme xenobiotik dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan faktor lainnya.Tedapat berbagai faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim-enzim yang memetabolisme xenobiotik. Aktivitas enzim-enzim ini dapat menunjukkan perbedaan bermakna di antara spesies. Oleh karena itu, contohnya, kemungkinan toksisitas atau karsinogenisitas xenobiotik pada satu spesies tidak sama dengan spesies lainnya. Terdapat perbedaan signifikan dalam aktivitas enzim di antara individu, dan banyak diantaranya disebabkan oleh faktor genetik. Aktivitas sebagai enzim ini bervariasi sesuai usia dan jenis kelamin.
Asupan berbagai xenobiotik, misalnya fenobarbital, PBC, atau hidrokarbon tertentu dapat menyebabkan induksi enzim. Oleh karena itu, dalam mengevaluasi respons biokimiawi terhadap xenobiotik, penting diketahui apakahyang bersangkutan telah terpajan bahan-bahan penginduksi ini. Metabolit xenobiotik tertentu dapat menghambat atau merangsang aktivitas enzim-enzim yang memetabolisme xenobiotik. Hal ini juga dapat memengaruhi dosis obat tertentu yang diberikan kepada pasien. Berbagai penyakit (misalnya Sirosis hati) dapat memengaruhi aktivitas enzim yang memetabolisme obat sehingga kadang-kadang dosis berbagai obat untuk pasien dengan penyakit ini perlu disesuaikan.
4. Respon terhadap xenobiotik
Xenobiotik berasal dari bahasa Yunani: Xenos yang artinya asing. Xenobiotik adalah zat asing yang masuk dalam tubuh manusia. Contoh: obat obatan, insektisida, zat kimia tambahan pada makanan (pemanis, pewarna, pengawet) dan zat karsinogen lainya. Xenobiotik umumnya tidak larut air, sehingga kalau masuk tubuh tidak dapat diekskresi. Untuk dapat diekskresi xenobiotik harus dimetabolisme menjadi zat yang larut, sehingga bisa diekskresi.Organ yang paaling berperan dalam metabolisme xenobiotik adalah hati. Ekskresi xenobiotik melalui empedu dan urine. Pada metabolisme obat, pada obat yang sudah aktif → metabolisme xenobiotik fase 1 berfungsi mengubah obat aktif menjadi inaktif, sedang paa obat yang belum aktif → metabolisme xenobiotik fase 1 berfungsi mengubah obat inaktif menjadi aktif
2. Reaksi konjugasi
Mekanisme detoksifikasi dalam tubuh terdiri dari dua tahap utama yaitu :
Transformasi tahap I, terjadi proses oksidasi yang hasilnya dilanjutkan
Transformasi tahap II, yaitu proses konjugasi
Fungsi utama dari reaksi tahap satu dan dua adalah mengoksidasi senyawa xenobiotik dan melanjutkan dengan reaksi konjugasi untuk membuat senyawa xenobiotik menjadi bersifat polar dan mudah disekresikan melalui urin. Masalah yang dapat timbul adalah dihasilkannya produk oksidasi yang reaktif dan mempunyai afinitas yang tinggi pada DNA dan protein sehingga menyebabkan kerusakan DNA atau protein sel. Konjugasi pada DNA dan protein sel merupakan awal dari proses keracunan kronis yang diketahui dapat termanifestasi dalam bentuk berbagai penyakit degeneratif.
Tranformasi tahap II ini memberikan beberapa jalur konjugasi yang memperantarai racun yang bersifat minyak mudah larut dalam air, sehingga dapat dibuang melalui urin, empedu, tinja dan keringat. Reaksi konjugasi ini termasuk :
a. Konjugasi Glukuronidasi (Glucuronidation Conjugation)
b. Konjugasi Sulfasi (Sulfation Conjugation)
c. Konjugasi Glutation (N-acetyl cysteine, dimana asam amino cysteine dan methionin adalah bahan awal)
d. Konjugasi Acetylasi
e. Konjugasi Metilasi (Methylation Conjugation)
f. Konjugasi Asam Amino (Konjugasi glycine, taurine, glutamine, ornithin dan arginin)
Selama proses detoksifikasi, apabila proses tranformasi tahap I terlalu cepat, tetapi tahap dua terlambat, maka akan kelebihan bahan perantara yang sangat beracun, menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih luas, sehingga memerlukan perlindungan antioksidan vitamin A-beta carotene, vitamin C, vitamin E, flavonoid, proantocyanin yang berasal dari tumbuh-tumbuhan..Konjugasi Glukuronidasi (Glucuronidation Conjugation). Konjugasi dengan asam glukuronat ini adalah bentuk transformasi tahap II yang paling umum. Gugusan glukuronat dapat dipindahkan ke beberapa group fungsional termasuk : Alkohol, asam karbosilat, amine, thiols dan beberapa methylene group yang aktif. Proses ini memerlukan enzim UDP-glukuronosyltransferase dan cosubstrat Uridine-5”-diphospho-alpha-glukuronic acid (UDPGA) sebagai sumber asam glukuronat.
a. Konjugasi Sulfasi (Sulfation Conjugation)
Merupakan transformasi tahap II yang menambah gugusan sulfat ke alcohol dan amine, menjadi bentuk sulfate atau sulfonamide, dibantu oleh enzim Sulfotransferase dan cosubstrat 3”-phosphoadenosine-5”-phosphosulphate (PAPS) sebagai sumber group sulfate.
b. Konjugasi Glutation
N-acetyl cysteine, dimana asam amino cysteine dan methionin adalah bahan awal. Sangat penting dalam konjugasi tahap II pada hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dibawah pengaruh enzim glutathione S-transferase, glutation dapat bereaksi dengan serangkaian substrat termasuk epoxide, aryl dan alkyl halide dan bahan majemuk elektrofilik lainnya. Glutation S-transferase terdapat pada fraksi sitosol kebanyakan sel dan organ tubuh seperti hati, ginjal, paru, dan usus halus (Commandeur et al., 1995). Glutation (GSH) adalah tripeptida (-L-glutamil-L-sisteinil-glisin) yang memainkan peran utama dalam biotransformasi dan ekskresi xenobiotika dan pertahanan sel terhadap oxidative stress (Josephy, 1997). Glutation S-transferase (GST) merupakan keluarga enzim yang mengkatalisis reaksi konjugasi glutation dengan sejumlah besar xenobiotika elektrofilik endogen maupun eksogen. GST melindungi sel tubuh terhadap serangan senyawa elektrofil yang sering bersifat sitostatik, mutagenik, dan karsinogenik, dengan jalan mengkatalisis reaksi konjugasi antara gugus tiol (-SH) pada glutation (GSH) dengan pusat elektrofilik senyawa elektrofil. Reaksi ini akan menghasilkan produk konjugat glutation yang selanjutnya akan ditranspor ke ginjal dan dimetabolisme lebih lanjut menjadi asam merkapturat (Josephy, 1997).
c. Konjugasi Acetylasi
Tranformasi ini tidak menghasilkan racun-racun yang larut air. Alcohol dan amine dapat diacetylasi dengan acetyl CoA, dibawah pengaruh enzim acetyl transferase.
d. Konjugasi Metilasi (Methylation Conjugation).
Transformasi ini kurang penting dibanding transformasi tahap II lainnya. Pada umumnya hanya dipakai untuk mentranformasi beberapa jenis thiols, phenol dan amines yang dihasilkan dalam tubuh saja dengan perantara S-Adenosyl methionine (SAM) dan dikatalisasi oleh beberapa jenis enzim methyl transferase.
3. Hal-hal yang mempengaruhi reaksi xenobiotik
Aktivitas enzim yang memetabolisme xenobiotik dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan faktor lainnya.Tedapat berbagai faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim-enzim yang memetabolisme xenobiotik. Aktivitas enzim-enzim ini dapat menunjukkan perbedaan bermakna di antara spesies. Oleh karena itu, contohnya, kemungkinan toksisitas atau karsinogenisitas xenobiotik pada satu spesies tidak sama dengan spesies lainnya. Terdapat perbedaan signifikan dalam aktivitas enzim di antara individu, dan banyak diantaranya disebabkan oleh faktor genetik. Aktivitas sebagai enzim ini bervariasi sesuai usia dan jenis kelamin.
Asupan berbagai xenobiotik, misalnya fenobarbital, PBC, atau hidrokarbon tertentu dapat menyebabkan induksi enzim. Oleh karena itu, dalam mengevaluasi respons biokimiawi terhadap xenobiotik, penting diketahui apakahyang bersangkutan telah terpajan bahan-bahan penginduksi ini. Metabolit xenobiotik tertentu dapat menghambat atau merangsang aktivitas enzim-enzim yang memetabolisme xenobiotik. Hal ini juga dapat memengaruhi dosis obat tertentu yang diberikan kepada pasien. Berbagai penyakit (misalnya Sirosis hati) dapat memengaruhi aktivitas enzim yang memetabolisme obat sehingga kadang-kadang dosis berbagai obat untuk pasien dengan penyakit ini perlu disesuaikan.
4. Respon terhadap xenobiotik
a. Respon metabolisme xenobiotik dapat menguntungkan karena metabolit yang dihasilkan menjadi zat yang polar sehingga dapat diekskresi keluar tubuh
b. Respon metabolisme xenobiotik dapat merugikan karena:
- Berikatan dengan makromolekul dan menyebabkan cidera sel
- Berikatan dengan makromolekul menjadi hapten → merangsang pembentukan antibodi dan menyebakan reaksi hipersensitivitas yang berakibat cidera sel
- Berikatan dengan makromolekul menjadi zat mutan yang menyebakan timbulnya sel kanker
Respon metabolisme xenobiotik dapat menguntungkan karena metabolit yang dihasilkan menjadi zat yang polar sehingga dapat diekskresi keluar tubuh dan mencakup efek farmakologik, toksik, imunologik, dan karsinagenik. Jika xenobiotik tersebut berada dalam bentuk obat, reaksi fase 1 dapat mengubahnya kedalam bentuk aktif atau mungkin mengurangi atau menghilangkan efek obat tersebut, jika xenobiotik itu sudah aktif secara farmakologik tanpa perlu dimetabolisme sebelumnya. Berbagai efek yang ditimbulkan oleh obat merupakan bidang studi farmakologi; di sini penting disadari bahwa obat bekerja terutama melalui mekanisme biokimiawi. Beberapa reaksi obat penting akibat bentuk mutan atau polimorfik enzim atau protein.
Enzim atau protein yang terkena Reaksi atau konsekuensi
Glukosa 6-fosfat
Dehidrogenase (G6PD)
(mutasi) (MIM 305900) Anemia hemolitik setelah menelan obat, misalnya primakuin.
Kanal pengeluaran Ca2+
(Reseptor reanodin) di retikulum sarkoplasma
(mutasi)(MIM 180901) Hipertermia maligna
(MIM 145600) setelah pemberian obat anestesi tertenti (misalnya halatan)
CYP2D6 (Polimorfisme)
(MIM 124030) Melambatnya metabolisme obat tertentu (misalnya debrisakuin) sehingga terjadi penimbunan obat tersebut
CYP2A6 (Polimerfisme)
(MIM 122720) Gangguan metabolisme nikotin, yang melindungi seorang dari kemungkinan menjadi perokok dependen
Yang mencerminkan perbedaan genetik dalam struktur enzim dan protein di antara individu bagian bidang studi yang dikenal debagai farmakogenetika.
Polimorfisme yang mempengaruhi metabolisme obat dapat terjadi pada enzim apapun yang berperan dalam metabolisme obat (termasuk kelompok sitokrom P450), pada transporter dan pada reseptor. Xenobiotik tertentu bersifat sangat toksik bahkan pada kadar rendah (misal sianida). Beberapa xenobiotik lain, termasuk obat , tidak menimbulkan efek toksik jika diberikan dalam jumlah cukup. Walaupun spektrum efek toksik xenobiotik sangat luas, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar.
Pertama, adalah jejas sel (sitotoksisitas), yang dapat cukup parah sehingga mematikan sel. Terdapat banyak mekanisme yang digunakan oleh xenobiotik untuk mencederai sel salah satu yang dibahas di sini adalah pengikatan secara kovalen spesies reaktif xenobiotik, yang dihasilkan oleh metabolisme pada makromolekul sel. Makromolekul sel sasaran tersebut DNA, RNA, dan protein. Jika makromolekul tempat xenobiotik reaktif terikat ini esensial bagi kelangsungan hidup jangka pendek, misalnya protein atau enzim yang perperan penting dalam suatu fungsi sel, seperti fosforilasi oksidatif atau regulasi permeabilitas membran plasma, efek yang kuat terhadap fungsi sel dapat cepat terlihat.
Kedua, spesies reaktif suatu xenobiotik dapat berikatan dengan protein dan mengubah antigenisitasnya. Xenobiotik ini dikatakan berfungsi sebagai hapten, yi, molekul kecil yang tidak merangsang penbentukan antibodi dengan sendirinya, tetapi akan berikatan dengan antibodi jika telah terbentuk. Antibodi yang terbentuk kemudian dapat merusak sel melalui beberapa mekanisme imunologis yang sangat mengganggu proses biokimiawi normal sel.
Ketiga, reaksi spesies aktif karsinogen kimiawi dengan DNA diperkirakan sangat penting dalam proses karsinogenesis kimiawi. Beberapa bahan kimia (misal benzo[α]piren) perlu diaktifkan oleh monooksigenase di retikulum endoplasma agar menjadi karsinogenik (sehingga disebut karsinogen tak langsung). Karena itu, aktivitas monooksigenase dan enzim-enzim lain yang memetabolisme xenobiotik dapat membantu menentukan apakah senyawa tersebut menjadi karsinogenik atau “terdetoksifikasi”. Bahan kimia lain (misal berbagai bahan pengalkil) dapat bereaksi langsung (karsinogen langsung) dengan DNA tanpa mengalami aktivitas kimiawi di dalam sel.
Enzim epoksida hidrolase menarik perhatian karena enzim ini dapat menimbulkan efek protektif terhadap karsinogen tertentu. Produk kerja monooksigenase tertentu pada beberapa substrat prokarsinogen adalah epoksida yang dapat bersifat sangat reaktif dan mutagenik atau karsinogenik atau keduannya. Epoksida hidrolase seperti sitokrom P450 yang juga terdapat di mambran retikulum endoplasma, bekerja pada senyawa ini dan mengubahnya menjadi dihidrodiol yang jauh kurang reaktif.
b. Respon metabolisme xenobiotik dapat merugikan karena:
- Berikatan dengan makromolekul dan menyebabkan cidera sel
- Berikatan dengan makromolekul menjadi hapten → merangsang pembentukan antibodi dan menyebakan reaksi hipersensitivitas yang berakibat cidera sel
- Berikatan dengan makromolekul menjadi zat mutan yang menyebakan timbulnya sel kanker
Respon metabolisme xenobiotik dapat menguntungkan karena metabolit yang dihasilkan menjadi zat yang polar sehingga dapat diekskresi keluar tubuh dan mencakup efek farmakologik, toksik, imunologik, dan karsinagenik. Jika xenobiotik tersebut berada dalam bentuk obat, reaksi fase 1 dapat mengubahnya kedalam bentuk aktif atau mungkin mengurangi atau menghilangkan efek obat tersebut, jika xenobiotik itu sudah aktif secara farmakologik tanpa perlu dimetabolisme sebelumnya. Berbagai efek yang ditimbulkan oleh obat merupakan bidang studi farmakologi; di sini penting disadari bahwa obat bekerja terutama melalui mekanisme biokimiawi. Beberapa reaksi obat penting akibat bentuk mutan atau polimorfik enzim atau protein.
Enzim atau protein yang terkena Reaksi atau konsekuensi
Glukosa 6-fosfat
Dehidrogenase (G6PD)
(mutasi) (MIM 305900) Anemia hemolitik setelah menelan obat, misalnya primakuin.
Kanal pengeluaran Ca2+
(Reseptor reanodin) di retikulum sarkoplasma
(mutasi)(MIM 180901) Hipertermia maligna
(MIM 145600) setelah pemberian obat anestesi tertenti (misalnya halatan)
CYP2D6 (Polimorfisme)
(MIM 124030) Melambatnya metabolisme obat tertentu (misalnya debrisakuin) sehingga terjadi penimbunan obat tersebut
CYP2A6 (Polimerfisme)
(MIM 122720) Gangguan metabolisme nikotin, yang melindungi seorang dari kemungkinan menjadi perokok dependen
Yang mencerminkan perbedaan genetik dalam struktur enzim dan protein di antara individu bagian bidang studi yang dikenal debagai farmakogenetika.
Polimorfisme yang mempengaruhi metabolisme obat dapat terjadi pada enzim apapun yang berperan dalam metabolisme obat (termasuk kelompok sitokrom P450), pada transporter dan pada reseptor. Xenobiotik tertentu bersifat sangat toksik bahkan pada kadar rendah (misal sianida). Beberapa xenobiotik lain, termasuk obat , tidak menimbulkan efek toksik jika diberikan dalam jumlah cukup. Walaupun spektrum efek toksik xenobiotik sangat luas, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar.
Pertama, adalah jejas sel (sitotoksisitas), yang dapat cukup parah sehingga mematikan sel. Terdapat banyak mekanisme yang digunakan oleh xenobiotik untuk mencederai sel salah satu yang dibahas di sini adalah pengikatan secara kovalen spesies reaktif xenobiotik, yang dihasilkan oleh metabolisme pada makromolekul sel. Makromolekul sel sasaran tersebut DNA, RNA, dan protein. Jika makromolekul tempat xenobiotik reaktif terikat ini esensial bagi kelangsungan hidup jangka pendek, misalnya protein atau enzim yang perperan penting dalam suatu fungsi sel, seperti fosforilasi oksidatif atau regulasi permeabilitas membran plasma, efek yang kuat terhadap fungsi sel dapat cepat terlihat.
Kedua, spesies reaktif suatu xenobiotik dapat berikatan dengan protein dan mengubah antigenisitasnya. Xenobiotik ini dikatakan berfungsi sebagai hapten, yi, molekul kecil yang tidak merangsang penbentukan antibodi dengan sendirinya, tetapi akan berikatan dengan antibodi jika telah terbentuk. Antibodi yang terbentuk kemudian dapat merusak sel melalui beberapa mekanisme imunologis yang sangat mengganggu proses biokimiawi normal sel.
Ketiga, reaksi spesies aktif karsinogen kimiawi dengan DNA diperkirakan sangat penting dalam proses karsinogenesis kimiawi. Beberapa bahan kimia (misal benzo[α]piren) perlu diaktifkan oleh monooksigenase di retikulum endoplasma agar menjadi karsinogenik (sehingga disebut karsinogen tak langsung). Karena itu, aktivitas monooksigenase dan enzim-enzim lain yang memetabolisme xenobiotik dapat membantu menentukan apakah senyawa tersebut menjadi karsinogenik atau “terdetoksifikasi”. Bahan kimia lain (misal berbagai bahan pengalkil) dapat bereaksi langsung (karsinogen langsung) dengan DNA tanpa mengalami aktivitas kimiawi di dalam sel.
Enzim epoksida hidrolase menarik perhatian karena enzim ini dapat menimbulkan efek protektif terhadap karsinogen tertentu. Produk kerja monooksigenase tertentu pada beberapa substrat prokarsinogen adalah epoksida yang dapat bersifat sangat reaktif dan mutagenik atau karsinogenik atau keduannya. Epoksida hidrolase seperti sitokrom P450 yang juga terdapat di mambran retikulum endoplasma, bekerja pada senyawa ini dan mengubahnya menjadi dihidrodiol yang jauh kurang reaktif.
No comments:
Post a Comment